Laporan Reporter Tribun Jogja, Singgih Wahyu Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Hendri Widodo (19), warga Pedukuhan Wonolopo, Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, sudah sekitar setahun ini dirantai oleh orangtuanya sendiri. Pasalnya, lelaki yang mengalami bisu-tuli serta mengidap autisme hiperaktif itu sering mengamuk.
Anak pasangan Sumijo (50) dan Windarti (47) itu kini pun lebih banyak diam tak bergerak di ruang bagian depan rumah. Rantai tebal sepanjang sekitar satu meter melilit perut lelaki bertubuh tambun itu dan terikat kencang pada tiang beton rumah. Praktis, Hendri melakukan semua aktivitasnya di tempat tersebut, mulai dari tidur, makan hingga mandi dan buang hajat.
Ayah Hendri, Sumijo mengatakan, keputusan merantai Hendri diambilnya mengingat sikapnya yang kerap mengamuk dan membahayakan orang lain. Sebelum dirantai, Hendri kerap mengganggu dan membahayakan orang yang lewat di jalan. Barang apapun yang ada di dekatnya bisa jadi sasaran pukul dan banting. Bahkan, lanjut Sumijo, dirinya sendiri pernah dibanting dan diinjak oleh Hendri pada 2010 lalu saat sedang berada di dekatnya. Punggung dan kakinya sampai sekarang masih terasa sakit akibat kejadian itu.
"Semakin dewasa, tenaganya semakin besar dan saya ngga kuat lagi menjaganya. Akhirnya saya rantai saja biar enggak mencelakakan orang lain," kata Sumijo, Senin (21/4/2014).
Dijelaskan, anaknya itu menderita bisu dan tuli sejak umur 7 bulan. Saat masih kecil, dirinya sempat membawa Hendri ke RSUD Wirosaban Kota Yogya maupun RSUP dr Sardjito untuk terapi selama empat tahun. Namun, pihak rumah sakit tak mampu menanganinya sehingga Sumijo semenjak itu merawatnya di rumah.
Pada September 2013 kemarin, atas bantuan dari pemerintah desa dan kecamatan, Hendri diperobatkan ke RS Ghrasia Sleman. Namun, Sumijo merasa prihatin dan tak tega melihat anak tunggalnya itu bercampur dengan pasien lainnya yang lebih tua dan berbadan besar. Karena itu, dirinya meminta agar anaknya menjalani rawat jalan saja. Hendri hanya bertahan 27 hari di RS Ghrasia tersebut dan akhirnya dirantai lagi di rumahnya.
"Saya beneran enggak tega ngelihat anak saya diumbar sama pasien lainnya yang lebih gede. Dia kalahan," kata Sumijo.
Dia sebenarnya pernah menyekolahkan Hendri di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Bantengan, Brosot, Galur saat berumur 14 tahun. Namun, karena perangainya yang sering mengamuk, akhirnya Hendri berhenti sekolah sejak setengah tahun yang lalu. Sumijo kini hanya menunggu belas kasihan dari pemerintah untuk penanganan pengobatan anaknya itu. Pekerjaannya yang hanya sebagai penjaga malam sebuah klinik kesehatan di desa setempat membuatnya tak memiliki dana untuk pengobatan Hendri.(*)
0 komentar:
Posting Komentar