Repro Warta Kota Pemakaman yang menjadi tempat tinggal.
JAKARTA, akikaseb.blogspot.com.com - Memiliki tempat tinggal yang layak, masih menjadi impian bagi segelintir orang di Jakarta. Alih-alih menempati rumah yang nyaman, mereka memilih tinggal di tempat pemakaman umum.Musliha (72) terpaksa tinggal di makam karena tak mampu membayar kontrakan. Dia tidak bisa mencari nafkah sendiri dan bergantung kepada anaknya."Mau enggak mau tinggal di sini. Soalnya kalau kontrak sudah enggak mampu. Kontrak Rp 300.000 per bulan, mau bayar pakai apa?" kata Musliha yang tinggal di TPU Cipinang Besar, Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, kepada Warta Kota, baru-baru ini.Musliha tinggal sendiri. Untuk kebutuhan hidup biasanya dipenuhi oleh anak satu-satunya yang sudah menikah. "Anak saya biasanya suka kasih uang ke saya beberapa hari sekali. Dia sudah nikah jadi tidak tinggal dengan saya," katanya.Sebelumnya, Musliha sempat mengontrak dengan biaya Rp 400.000 per bulan. Ia sempat bekerja sebagai penyalur pembantu rumah tangga. Setelah kecelakaan yang menyebabkan kaki kirinya terluka, dia kesulitan beraktivitas."Sekarang susah kalau mau ke mana-mana. Jadi, ya sehari-hari di sini saja. Kalau tidur ya tinggal gelar karpet, makan beli di warung, kalau di MCK," kata Musliha.BeratapDi TPU itu puluhan orang memenuhi makam, khususnya makam Tionghoa. Mereka bertempat tinggal di atas makam-makam tersebut. Makammu, istanaku. Itulah kata mereka yang tinggal di sana. Bertempat tinggal di atas makam bersama puluhan warga lain, layaknya rumah pribadi mereka.Bentuk makam Tionghoa umumnya menggunakan atap. Beberapa menggunakan pilar-pilar, bahkan juga menggunakan marmer. Mereka memanfaatkannya untuk menghuni. Bentuk makam tersebut bisa memberi kenyamanan, bisa melindungi dari terik matahari atau hujan.Cukup menggelar alas untuk tidur, mereka sudah bisa menikmati malam, meskipun hawa dingin sulit mereka hindari. Makam itu mereka anggap sebagai rumah kontrakan, yang tanpa harus membayar.Beberapa perabotan rumah tangga seperti piring, gelas, dan kasur tampak berada di atas makam tersebut. Tali-tali mereka bentangkan dari makam ke makam untuk dijadikan tempat mereka menjemur pakaian.Jaga makamIyan (37), yang juga tinggal di makam tersebut, mengaku bekerja menjaga makam tersebut. Menurut pria yang sehari-hari sebagai pemulung itu ada 13 makam yang dijag dan dirawat."Saya yang biasnaya potong rumput dan bersihkan makamnya. Dari 13 makam, saya bisa dapat Rp 700.000," katanya.Iyan tinggal di makam tersebut sejak 2007. Sebelumnya ia tinggal di emperan pertokoan di Pedati, Jatinegara."Dulu saya dengan istri dan dua anak tinggal di gerobak mulung. Pas 2007, saya melihat makam ini, saya ajak mereka coba tinggal di sini," katanya.Saat itu, Iyan melihat bangunan makam yang cukup layak ditempati. Yang penting baginya bisa terlindungi dari panas dan hujan.Awalnya, ia dan keluarganya merasa takut. Setelah seminggu mereka terbiasa. Tak hanya itu, dinginnya malam juga menjadi masalah baginya ketika tidur di makam tersebut. Ia pun mencoba membiasakan diri. Yang lebih penting lagi, Iyan tidak perlu mengeluarkan biaya sewa."Di sini enggak perlu bayar sewa. Daripada kontrak bisa sampai Rp 400.000 per bulan. Kata pengurus pemakaman, yang penting jangan bawa barang banyak di sini. Dan enggak boleh kotor," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar